Praktisi hukum Elza Syarief berpendapat surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait rekomendasi pemberhentian Prabowo Subianto dari TNI cacat yuridis.
Pertama, kata dia, DKP seharusnya dibentuk untuk sidang bagi perwira menengah. Sementara saat itu Prabowo yang menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) merupakan perwira tinggi (pati).
"DKP dibentuk untuk menyidang perwira menengah. Sementara Prabowo perwira tinggi, jenderal bintang tiga," ujar Elza dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2014).
Menurut dia, apabila pada saat itu Prabowo terindikasi melakukan tindak pidana maka semestinya yang bersangkutan diajukan ke Mahkamah Militer (Mahmil).
"Kalau misalnya dalam pemeriksaan DKP walau cacat, walaupun Prabowo ada indikasi tindak pidana itu dengan bukti dan saksi maka rekomendasinya dia harus disidang di Mahmil. Nyatanya kan tidak. Jadi yang keluar dia diberhentikan dengan hormat. Jadi memang tidak ada bukti dan saksi. Itu jika baru indikasi ya," tutur Elza.
Dia menambahkan, surat DKP cacat hukum karena dalam persidangan hanya ada satu jenderal bintang empat yang ikuti memproses persoalan Prabowo. "Sesuai ketentuannya, tiga dari delapan anggota DKP harus berbintang empat. Tapi hanya satu yang bintang empat, yakni Subagyo," kata dia.
Terakhir, surat itu dinilainya cacat yuridis karena semestinya surat DKP hanya berisi rekomendasi bukan keputusan. "Sifat DKP dalam hal ini bukan keputusan tapi rekomendasi. Rekomendasi tidak akan keluar karena sifatnya internal. Keputusan diambil melalui keputusan presiden yang telah memberhentikan Prabowo dengan hormat dan berhak atas tunjangan pensiun," katanya.
View the original article here
0 comments:
Post a Comment